ric.cid blog


Etika Kehumasan Sebagai Pencipta Hubungan Baik Dengan Klien

Posted in Uncategorized oleh ricky pada Mei 16, 2008

Etika Kehumasan Sebagai Pencipta Hubungan Baik Dengan Klien

A. Etika Profesional

Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika adalah nilai-nilai, dan asas-asas moral yang di pakai sebagai pegangan umum bagi penentuan baik buruknya perilaku manusai atau benar salahnya tindakan manusia sebagai manusia (Soleh Soemirat, 2005:169). Etika mengacu pada sistem nilai dengan apa orang menentukan apa yang benar dan apa yang tidak benar, yang adil dan tidak adil, yang jujur dan tidak jujur. Etika terungkap dari perilaku moral dalam situasi terterntu. Peran etika dalam kehidupan pribadi dan praktisi sendiri juga sama pentingnya.

Prinsip di balik etika profesional adalah tindakan seseorang dirancang untuk menciptakan kebaikan yang paling tinggi baik bagi klien maupun bagi komunitas secara keseluruhan, bukan untuk meningkatkan posisi dan kekuasaan praktisi. Perilaku profesional di dasarkan pada apa yang secara umum di anggap sebagai motif yang luhur, yang di pantau dan di ukur berdasarkan kode perilaku yang berlaku dan di laksanakan melalui interpretasi kongkrit bagi mereka yang menyimpang dari standar kinerja yang telah di terima. Kode perilaku profesional di tujukan untuk menentukan norma perilaku yang dapat di terima bagi para karyawan dan profesional dalam berkarya.

Hubungan klien dengan profesional merupakan sebuah hubungan kepercayaan, hubungan kepercayaan ini berbeda dengan hubungan dengan pelayan ketrampilan. Etika erat kaitannya dengan pelaksanaan kode etik perilaku. Fungsi dari keduanya adalah untuk melindungi mereka yang mempercayakan kesejahteraan di tangan profesional. Perlindungan terhadap profesi tersebut berupa hak istimewa, status, dan kolegitas profesional. Dalam profesi, penerapan nilai-nilai moral dlam prakteknya di sebut sebagai etika terapan.

Etika profesi merupakan norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah, ukuran-ukuran yang diterima dan di taati oleh para pegawai atau karyawan, berupa peraturan-peraturan, tatanan yang di taati semua karyawan dari organisasi tertentu, yang telah di ketahuinya untuk di laksanakan, karena hal tersebut melekat pada status atau jabatannya. Dalam kata lain etika profesi adalah kebiasaan yang baik atau peraturan yang diterima dan ditaati oleh para karyawan dan telah mengendap menjadi bersifat normatif.

Sebagian besar organisasi profesional dan banyak perusahaan bisnis lainnya mempunyai kode etik. Dalam setiap profesi tersebut pasti memiliki kode etik yang berbeda. Kode etik merupakan aturan-aturan susila yang ditetapkan bersama dan ditaati bersama oleh seluruh anggota yang bergabung dalam suatu profesi. Kode etik meupakan persetujuan bersama yang timbul secara murni dari diri pribadi para anggota. Kode etik merupakan serangkaian peraturan yang di sepakati bersama guna menyatakan sikap atau perilaku anggota profesi. Kode etik lebih mengingatkan pembinaan para anggota sehingga mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat (Bambang Herimanto, 2007:253-254). Kode etik profesi dilaksanakan oleh pribadi-pribadi yang memiliki profesi terkait karena hal tersebut melekat pada jabatannya dan bersifat normatif.

Dalam usaha mencanangkan patokan dari perilaku bertanggung jawab, mereka harus menegakkan kede etik yang merupakan dasar bagi profesionalisme sesuai dengan pernyataan mereka dengan pertimbangannya adalah kredibilitas. Etika profesi sangat penting terutama dalam rangka untuk pembinaan karyawan, untuk meningkatkan mutu serta mewujudkan pribadi karyawan yang jujur, bersih, berwibawa, semakin mempunyai rasa memiliki organisasi, tanggung jawab, dalam keterlibatannya untuk mengembangkan organisasiny, rasa ikut memiliki besar. Etika profesi dapat membimbing karyawan dalam menjalankan tugasnya sehingga mampu menyelesaikan tugas-tugasnya dengan seksama, etos kerja yang tinggi, dengan tanggung jawab, sehingga memperoleh hasil yang memuaskan. Selain itu etika profesi juga dapat memberi arah, petunjuk untuk membentuk kepribadian seseorang sesuai dengan profesinya kemudian hasil kerjanya dapat memuaskan publik yang dilayaninya.

B. Etika Kehumasan

Public Relation adalah merupakan salah satu profesi yang memiliki kode etik. Dalam Public Ralation kode etik disebut sebagai kode etik Publik Relation atau kode etik kehumasan atau etika profesi humas. Dalam buku Etika Kehumasan karangan Rosady Ruslan disebutkan bahwa etika profesi humas merupakan bagian dari bidang etika khusus atau etika terapan yang menyangkut demensi sosial, khususnya bidang profesi. Kegiatan Humas atau profesi Humas (Public Relation Professional), baik secara kelembagaan atau dalam stuktur organisasi (Public Relation by Function) maupun individual sebagai penyandang professional Humas (Public relation Officer by Professional) berfungsi untuk menghadapi dan mengantisipasi tantangan kedepan, yaitu pergeseran sistem pemerintahan otokratik menuju sistem reformasi yang lebih demokratik dalam era globaluisasi yang ditandai dengan unculnya kebebasan pers, mengeluarkan pendapat, opini dan berekspresi yang terbuk, serta kemampuan untuk berkompetitif dalam persaingan pasar bebas, khususnya di bidang jasa teknologi informasi dan bisnis lainnya yang mampu menerobos batas- batas wilayah suatu negara, sehingga dampaknya sulit dibendung oleh negara lain sebagai target sasarannya.

Perlunya penyesuan, perubahan (revisi) dan modifikasi mengenai seperangkat pengaturan dan peundang-undangan yang ada, baik di idang hukum komunikasi, etika, maupun kode etik profesi (code of proffesion) khususnya profesi kehumasan (public relation ethics, jurnalistik / pers media cetak dan elektronik, periklanan, promosi pemasaran, dan bidang profesi komunikasi lainnya.

Pada akhirnya munculah titik tolak dari kode etik tersebut adalah untuk menciptakan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) yang hendak dicapai atau dikembangkan oleh pihak profesi bidang komuniksi pada umumnya, dan pada profesi kehumasan khususnya, melalui kode etik dan etika profesi sebagai refleksi bentuk tanggung jawab, perilaku, dan moral yang baik. Dalam buku Etika Kehumasan, Roslan Rosady mengungkapkan aspek aspek yang kode perilaku seorang praktisi humas, antara lain:
a. code of conduct, merupakan kode perilaku sehari-hari terhadap integritas pribadi, klien dan majkan, media dan umum, serta perilaku terhadap rekan seprofesinya.
b. code of profession, merupakan standar moral, bertindak etis dan memiliki kualifikasi serta kemampuan tertentu secara profesional.
c. code of publication, merupakan standar moral dan yuridis etis melakukan kegiatna komunikasi, proses dan teknis publikasi untuk menciptakan publisitas yang positif demi kepentingan publik.
d. code of enterprise, menyangkut aspek hukum perizinan dan usaha, UU PT, UU Hak Cipta, Merek dan Paten, serta peraturan lainnya.

Di antara praktisi public relation terdapat perbedaan pendapat yang besar mengenai apakah public relations adalah suatu karya seni, ketrampilan, atau sebuah profesi dalam pengertian yang sama denagn kedokteran dan hukum. Ada juga gagasan, yang dikembangkan oleh banyak profesional dan PRSA bahwa yang palig penting adalah bagi individu bersangkutan untuk nertindak sebagai seorang profesional dalam bidang ini. Kemudaian seorang praktisi humas harus memiliki: rasa kemandirian; rasa tanggung jawab terhadap masyarakat dan kepentingan umum; kepedulian nyata terhadap kompentensi dan kehormatan profesi ini secara menyeluruh; kesetiaan yang lebih tinggi terhadap standar profesi dan sesama profesional daripada kepada pihak yang memberi pekerjaan kepadanya pada saat itu. Hambatan besar bagi profesionalisme adalah sikap banyak praktisi itu sendiri terhadap pekerjaan mereka, mereka memandang lebih tinggi arti keamanan kerja prestise dalam organisasi, jumlah gaji, dan pengakuan dari atasan bibandingkan nilai-nilai tersebut.

International Public Relation Association (IPRA) menyatakan kode etik humas yang kemudian diterima dalam konvensi-nya di Venice pada Mei 1961, isinya adalah:
1. integritas pribadi dan profesional, reputasi yang sehat, ketaatan pada konstitusi dan kode IPRA
2. perilaku kepada klien dan karyawan: (1) perlakuan yang adil terhadap klien dan karyawan; (2) tidak mewakili kepentingan yang berselisih bersaing tanpa persetujuan; (3) menjaga kepercayaan klien dan karyawan; (4) tidak menerima upah, kecuali dari klien lain atau majikan lain; (5) tidak menggunakan metode yang menghina klien atau majikan lain; (6) menjaga kompensasi yang bergantung pada pencapaian suatu hasil tertentu.
3. perilaku terhadap publik dan media: (1) memperhatikan kepentingan umum dan harga diri seseorang; (2) tidak merusak integritas media komunikasi; (3) tidak menyebarkan secara sengaja informasi yang palsu atau menyesatkan; memberikan gambarabyang dapat dipercaya mengenai organisasi yang dilayani; (5) tidak menciptakan atau menggunakan pengorganisasian palsu untuk melayani kepentingan pribadi yang terbuaka
4. perilaku terhadap teman sejawat: (1) tidak melukai secara senaga reputasi profesional atau praktek anggota lain; (2) tidak berupaya mengganti anggota lain dengan kliennya; (3) bekerja sama dengan anggota lain dalam menunjunjung tinggi danmelaksanakan kode etik ini.

Dalam hubungannya denagn kegiatan menejemen perusahaan sikap etislah yang harus ditunjukkan seorang humas dalam profesinya sehari-hari. Seorang humas juga harus menguasai etika-etika umum keprofesionalitasan dan etika-etika khusus seorang humas pada khususnya. Kemampuan tertentu tersebuat antara lain: kemampuan untuk kesadaran etis; b\kemampuan untuk berpikir secara etis; kemampuan untuk berperilaku secara etis; kemampuan untuk kepemimpinan yang etis (Soleh Soemirat, 2005:177). Kemudian Soleh Soemirat juga menanbahkan bahwa sebagai seorang profesional humas harus mampu bekerja atau bertindak melalui pertimbangan yang matang dan benar, yaitudapat membedakan secara etis mana yang dapat dilakukan dan mana yang tidak, sesuai dengan pedoman kode etik profesi yang disandang.

C. Etika Sebagai Pencipta Hubungan baik dengan Klien

Sesuai yang telah dipaparkan oleh IPRA terdapat fungsi Public Relation terhadap kliennya. Etika profesi kehumasan dapat menciptakan hubungan sinergis antara organisasi dengan kliennya. Pelayanan terhadap klien seharusnya dapat menjadi perhatian khusus oleh Public Relation karena sebagai fungsi menejemen yang berada di organisasi atau perusahaan peran humas dan hubungannya sangat dekat dengan klien dan bahkan menjadi pihak penengah antara organisasi dengan kliennya.

D. Referensi

Cutlip, Scott M.dkk. 2005. Effectives Public Relation ed. 8. Jakarta: Indeks.
Herimanto, Bambang. dkk. 2007. Public Relation dalam Organisasi. Jogja: Santusta.
Soemirat, Soleh. Elvinaro Ardianto. 2005. Dasar – Dasar Public Relation. Bandung: Rosda.
Willcox, Dennis L. dkk. 2006. Public Relation Strategy & Taktik. Batam: Inter Aksara.
Ruslan, Rosady. 2001. Etika Kehumasan Konsepsi dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jeffkins, Frank. 1995. Public Relation edisi keempat (terjemahan oleh Drs. Haris Munandar). Jakarta: Erlangga.
Cutlip, Scott M.dkk. 2000. Effectives Public : Merancang & Melaksanakan Kegiatan Kehumasan. Jakarta: Indeks.

Korupsi Sebagai Budaya

Posted in Uncategorized oleh ricky pada Mei 16, 2008

A. Pendahuluan

Kebudayaan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi bagi hampir seluruh anggota masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, orang sering membicarakan soal kebudayaan. Juga dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu berurusan denagn hasil-hasil kebudayaan, baik dalam wujud material maupun nonmaterial. Setiap hari manusia melihat, mempergunakan, bahkan kadang-kadang merusak kebudayaan. Melalui proses sosial, masyarakat menghasilkan kebudayaan yang diwijudkan dalam bentuk ide atau gagasan, perilaku, dan kebudayaan fisik. Segala sesuatu yang terdapat di masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimilikinya.

Kebudayaan merupakan sesuatu yang superorganic, sebab meskipun suatu generasi telah punah, kebudayaan selalu hidup turun-temurun dari generasi ke generasi (M.J. Herskovits dan B. Malinowski). Kebudayaan merupakan salah satu unsur kehipdupan yang dinamis, yakni menggambarkan adanya serangkaian perubahan yang dilakukan oleh suatu kelompok manusia untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi baru sesuai dengan perkembangan masyarakat pada umumnya, terdorong oleh keinginan dan kekuatan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar masyarakatnya. Dari pengertian kebudayaan muncullah unsur-unsur kebudayaan, unsur kebudayaan antaralain:
. kebudayaan yang terdapat di masyarakat sifatnya beraneka ragam;
2. kebudayaan diperoleh dan disebarkan atau diturunkan melalui proses pembelajaran;
3. kebudayaan merupakan perwujudan dari komponen biologis, psikologis, sosiologis, dan lingkungan alam;
4. kebudayaan memiliki struktur;
5. kebudayaan sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa subsistem dan unsur-unsur

Nilai kebudayaan bersifat relatif, penilaian masyarakat terhadap suatu fenomena budaya berbedabeda. Suatu fenomena yang dianggap wajar atau baik menurut masyarakat dalam suatu lingkungan kebudayaan, dianggap luar biasa atau jelek/buruk menurut masyarakat dalam lingkungn kebudayaan lain. Seperti halnya korupsi, dianggap sebagai nilai yang buruk/jelek dalam mayoritas masyarakat Indonesia, akan tetapi dianggap wajar bagi para pelakunya. Seperti halnya korupsi, sebagian masyarakat menganggap korupsi adalah budaya yang buruk sebaliknya juga di kalangan tertentu korupsi dianggap sebagai suatu hal yang wajar dilakukan dan menjadi kebudayaan yang diterima dikalanganya. Akan tetapi ada juga sebagian orang yang mengaggap bahwa korupsi hanyala bagian dari fenomena masyarakat dan bukan merupakan budaya

B. Budaya Korupsi Di Indonesia

Korupsi sudah menjadi hal yang sering dibicarakan oleh masyarakat di Indonesia. Fenomena korupsi di Indonesia seakan sudah menjadi hal yang lazim di masyarakat Indonesia. Korupsi sudah dapat dikatakan menjadi budaya di masyarakat Indonesia. Secara tidak kita sadari korupsi memiliki unsur-unsur pokok kebudayaan. Sehingga korupsi sudah dapat disebut sebagai kebudayaan masyarakat Indonesia. Korupsi disebut dapat disebut sebagai budaya karena korupsi sudah dapt diterima oleh sebagian masyarakat, bukan lagi hanya menjadi sebuah fenomena.

Korupsi merupakan wujud kebudayaan yang berupa kelakuan atau perilaku, yaitu aktifitas serta tindakan berpola manusia dan masyarakat. Korupsi juga merupakan bagian sistem sosial yang terdiri dari tindakan-tindakan atau aktifitas manusia dalam berinteraksi, berhubungan, dan bergaul dengan manusia lain yang didasarkan pada adat tata kelakuan atau pola yang sudah baku. Sebagai rangkaian aktifitas manusia dalam masyarakat, korupsi sifatnya kongkrit karena dapat dibuktikan melalui panca indra manusia sehingga bisa diobservasi dan didokumentasikan.

Proses pewarisan budaya korupsi dapat melalui dua cara, yaitu enkulturasi dan sosialisasi. Enkulturasi yaitu dengan diwariskannya secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Budaya korupsi dapat diwariskan melalui generasi ke generasi seperti contoh kebiasaan orang tua yang kemudian ditiru oleh anaknya. Sosialisasi yaitu melalui proses pembelajaran yang dialami oleh para pelakunya dengan mempelajari kebudayaan tersebut. Korupsi juga dapat timbul karena pelaku korupsi juga mempelajari apa yang ada disekitarnya, jika lingkungan sekitar tersebut banyak orang yang melakukan korupsi maka dengan mudah budaya itu berkembang karena proses pembelajaran dari sosialisasi tersebut Melalui pewarisan budaya dengan cara enkulturasi dan sosialisasi tersebut korupsi mudah menyebar dan diwariskan sehingga menjadi sebuah kebudayaan yang pada akhirnya dapat diterima oleh masyarakat.

Selain itu ada juga proses difusi kebudayaan yang mempengaruhi perkembangan korupsi menjadi budaya. Difusi budaya yaitu penyebaran unsur-unsur sosial budaya secara meluas sehingga melewati batas dimana unsur unsur itu timbul dan difusi budaya timbul karena akibat hubungan sosial. Korupsi termasuk dalam dinamika budaya yang menggunakan proses difusi. Dilihat dari kasusnya di Indonesia korupsi merupakan bagian dari difusi stimulus, yaitu unsur kebudayaan yang dibawa dalam kebudayaan lain yang mendorong terciptanya kebudayaan baru.
C. Analisis Theory Sociologi Terhadap Budaya Korupsi

Dalam fenomena korupsi yang telah dipaparkan dapat dianalisis dengan teory pertukaran sosial. Pelaku korupsi akan tidak mencari keuntungan maksimal, tetapi selalu mencari cara untuk mendapatkan keuntungan. Kedudukan dan jabatan mereka dapat gunakan untuk korupsi. Pelaku korupsi tidak bertindak secara rasional dalam mendapatkan keuntungan, tapi cenderung berfikir untung rugi. Dalam keterbatasannya mereka berkompetensi untuk mendapatkan keuntungan. Pelaku korupsi menggunakan cara apapun yang dirasa aman untuk mendapatkan keuntuntungan.

Kemudian teori fungsional struktur, yaitu adanya keterkaitan dengan unsur lain dalam stuktur korupsi. Seorang pelaku korupsi melakukan korupsi dimungkinkan karena adanya unsur lain yang mendukung untuk melakukan korupsi. Unsur lain tersebut bisa atasan yang juga melakukan korupsi, bawahan yang mendukung untuk mendukung korupsi. Sehingga dapat menjadi fungsional terhadap struktur sosial korupsi, akan tetapi juka dukungan-dukungan untuk melakukan korupsi itu tidak ada maka menjadi disfungsional.

D. Daftar Referensi

Efendi, Rusman. 2005. Sosiologi 2. Bandung: PT. Rosda Karya
Susanto S, Astrid. 1977. Pengantar Sosuiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Binacipta

RADIO KOMUNITAS: media efektif komunitas

Posted in Uncategorized oleh ricky pada April 12, 2008

Radio komunitas adalah stasiun siaran radio yang dimiliki, dikelola, diperuntukkan, diinisiatifkan dan didirikan oleh sebuah komunitas. Pelaksana penyiaran (seperti radio) komunitas disebut sebagai lembaga penyiaran komunitas. Radio komunitas juga sering disebut sebagai radio sosial, radio pendidikan, atau radio alternatif. Intinya, radio komunitas adalah “dari, oleh, untuk dan tentang komunitas”.
Kelompok masyarakat yang berpengaruh merupakan lapisan masyarakat yang berperan dan pendapatnya sering diperhatikan, malah akan diikuti anggota masyarakat lainnya. Melihat kedudukan mereka yang penting, keberadaan kelompok ini sangat potensial sebagi sumber berita. Terutama berita yang berasal dari kelompok ini sendiri, maupun berita dari kelompok masyarakat lain yang mereka ketahui, karena akses pergaulan mereka yang luas. Kelompok ini sering lebih dulu tau apa yang akan terjadi atau apa yang sedang terjadi tapi tidak dirasakan masyarakat (Fiedrich Naumann, Politik dan Radio, 2000)
Sebuah komunitas yang berusaha membentuk suatu media untuk kepentingan kelompok mereka. Kelompok tertentu dalam menunjukkan eksistensi mereka terhadap kelompok lain dengan cara menunjukkan kreatifitas yang dimiliki. Namun, radio komunitas tidak hanya sebagai bentuk kreatifitas kelompok tertentu tapi juga sebagai kebutuhan dalam menampung aspirasi anggota komunitas. Radio dipilih sebagai media untuk menampung aspirasi warga bukan tanpa alasan. Radio memiliki beberapa potensi untuk menyampaikan informasi yaitu: siaran radio bersifat langsung, siarannya tidak mengenal jarak dan rintangan (tergantung pemancar), mempunyai daya tarik tersendiri seperti suara,musik,dan efek suara (Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik : Pendekatan Teori dan Praktek, 1999)

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN RADIO KOMUNITAS
Perkembangan media komunitas memiliki peran penting dalam membangun kesadaran publik dan mendorong terciptanya aliran informasi dua arah. Di Indonesia kata “media komunitas” mulai dipakai oleh masyarakat pada awal tahun 2000 dengan muncul buletin komunitas “Angkringan” yang digagas oleh sekelompok anak muda di Timbulharjo, Yogyakarta, buletin Forum Warga Kamal Muara, “Fokkal” buletin Forum Warga Kalibaru dan beberapa Forum Warga di Bandung Memasuki tahun 2001, kelompok anak muda yang mengelola buletin Angkringan di Timbulharjo mulai mengembangkan radio komunitas, yang mereka sebut Radio Angkringan FM, kemudian menginspirasi Paguyuban Pengembangan Informasi Terpadu (PINTER) di Terban Yogyakarta untuk mendirikan Panagati FM, Forum Warga Cibangkong (FWC) mendirikan radio komunitas Cibangkong di Bandung, Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera (FM2S) mendirikan radio komunitas Majalaya Sejahtera (MASE) dan Forum Komunikasi Warga Kamal Muara mendirikan radio komunitas Kamal Muara di Jakarta.
Pada bulan Februari 2002 beberapa radio komunitas yang digagas oleh forum warga mulai terlibat advokasi Rencana Undang-Undang (RUU) Penyiaran, revisi UU No. 24 tahun 1997 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3701). Untuk kepentingan advokasi itulah pada tanggal 22 sampai dengan tanggal 24 Maret 2002 diadakanlah workshop pertama, yang dihadiri oleh 18 radio komunitas; 2 radio komunitas yang didirikan oleh forum warga, 5 radio kampus, 9 radio hobby, radio komunitas Angkringan dan radio komunitas Serikat Petani Pasundan. Pada workshop inilah mulai dibahas tentang definisi, ciri dan karakteristik. Selain itu pada workshop ini juga dirumuskan stategi untuk melakukan advokasi RUU Penyiaran yang mengakomodir Lembaga Penyiaran komunitas dan sebagai alat perjuanganya, pada hari minggu tanggal 24 Maret 2002 pukul 14.00 WIB dideklarasikanlah Jaringan Radio Komunitas Barat. Kemudian menyusul deklarasi Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY) pada tanggal 6 Mei 2002, kemudian dilanjutkan dengan lokakarya nasional pada 12-15 Mei 2002 sekaligus deklarasi Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI). Pada tanggal 28 Desember 2002, perjuangan runitas menampakkan hasil yang cukup menggembirakan dengan disyakkannya UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang di dalamnya mengakui keberadaan Lembaga Penyiaran Komunitas tepatnya pada Bagian Keenam pasal 21-24 tentang Lembaga Penyiaran Komunitas.
Berdasarkan perkembanganya, maka penggolongan radio komunitas dapat di bagi kedalam empat kelompok; pertama, radio komunitas yang berangkat dari perkembangan kebutuhan media informasis radio komunit yang digagas oleh forum warga seperti radio komunitas Panagati, radio komunitas Cibangkong (RKC) dan radio komunitas Kamal Muara. Dalam hal ini radio komunitas Angkringan merupakan pengecualian karena keberadaan buletin dan radio angkringan digagas oleh sekelompok anak muda dan dalam perjalannya melakukan penguatan kelembagaan dengan membentuk Forum Komunikasi Warga Timbulharjo (FOKOWATI) pada tanggal 27 Mei 2001. Kedua, radio komunitas yang berbasis kampus. Ketiga, radio komunitas yang pada awalnya merupakan radio hobbi yang kemudian beririsan dengan kelompok pertama dalam proses advokasi UU Penyiaran dan melakukan reorientasi menjadi radio komunitas. Keempat, menjadi radio komunitas yang orientasinya hobbi atau komersil dan lebih cocok menjadi lembaga penyiaran swasta (radio swasta), tetapi tidak mempunyai daya saing dengan radio swasta eksisting.
ekarang ini perkembangan radio komunitas kian pesat, seiring semakin terbukanya akses informasi, kemajuan teknologi, kesempatan dan keinginan masyarakat untuk menggunakan media dalam penyelesaian persoalan-persoalan komunitasnya. Bahkan beberapa radio komunitas semakin memantapkan perannya dalam proses pembentukan local good governance, sekaligus menyokong ekonomi kerakyatan dan melestarikan kearifan-kearifan lokal. Seiring dengan itu pula muncul berbagai persoalan yang harus segera diselesaikan oleh radio komunitas, persoalan teknis/perangkat siaran, isi/content siaran dan kelembagaan radio komunitas yang berdampak terhadap keberlanjutan lembaga penyiaran ini.
JARINGAN RADIO KOMUNITAS INDONESIA
Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) dideklarasikan pada tahun 2002. Di dalam organisasi JRKI terdapat jaringan radio komunitas daerah yaitu JRK Sumatera Barat, JRK Lampung, JRK Jabotabek & Banten, JRK Jawa Barat, JRK Jawa Tengah, JRK Yogyakarta, JRK Jawa Timur, JRK Bali, JRK Lombok, JRK Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, dan JRK Papua. Agenda utama JRKI adalah advokasi terhadap penyiaran komunitas di Indonesia menuju demokratisasi penyiaran. Radio komunitas sampai saat ini masih menghadapi kesulitan di regulasi. Setelah mendapat pengakuan dari UU Penyiaran tahun 2002, regulasi yang berada di bawahnya seperti Peraturan Pemerintahyang mengatur lebih detail soal perizinan atau frekuensi masih belum mendukung perkembangan radio komunitas.

PERAN DAN FUNGSI
Radio komunitas sebagai salah satu bagian dari sistem penyiaran Indonesia secara praktek ikut berpartisipasi dalam penyampaian informasi yang dibutuhkan komunitasnya, baik menyangkut aspirasi warga masyarakat maupun program-program yang dilakukan pemerintah untuk bersama-sama menggali masalah dan mengembangkan potensi yang ada di lingkungannya. Keberadaaan radio komunitas juga salah satunya adalah untuk terciptanya tata pemerintahan yang baik dengan memandang asas-asas sebagai berikut:
• Hak asasi manusia
Bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dilaksanakan secara bertanggungjawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak antar elemen di Indonesia.
• Keadilan
Bahwa untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat dan terlaksananya otonomi daerah maka perlu dibentuk sistem penyiaran nasional yang menjamin terciptanya tatanan system penyiaran yang adil, merata dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengelolaan, pengalokasian dan penggunaan spektrum frekuensi radio harus tetap berlandaskan pada asas keadilan bagi semua lembaga penyiaran dan pemanfaatannya dipergunakan untuk kemakmuran masyarakat seluas-luasnya, sehingga terwujud diversity of ownership dan diversity of content dalam dunia penyiaran.
• Informasi
Bahwa lembaga penyiaran (radio) merupakan media informasi dan komunikasi yang mempunyai peran penting dalam penyebaran informasi yang seimbang dan setimpal di masyarakat, memiliki kebebasan dan tanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol serta perekat sosial.

PERKEMBANGAN RADIO KOMUNITAS YOGYAKARTA
Cara kerja dan format siaran radio komunitas tidak bisa disamakan dengan radio komersial. Mereka hanya butuh biaya untuk sekadar bertahan sebagai media informasi sesama anggota komunitasnya. Sedangkan radio komersial yang dikelola oleh perusahaan, tentu saja jangkauannya lebih luas demi mengejar keuntungan. Di tengah maraknya pendirian stasiun radio dan televisi bermisi komersial di Yogyakarta saat ini justru menjamur radio bermisi pengabdian. Dengan menafikan logika bisnis, pengelola radio tersebut menyuguhkan informasi dan hiburan kepada pendengar di tingkat “akar rumput” sesuai kegiatan dan kebutuhan sehari-hari.
Sejak tahun 1997 radio-radio semacam ini semakin marak. Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY) yang terbentuk awal Mei lalu, mencatat jumlah anggotanya 31. Namun, di lapangan bisa berkisar 50. Semuanya beroperasi melalui gelombang AM, FM, dan saluran kabel. Oleh pemerhati penyiaran, radio semacam ini disebut radio komunitas (RK). Istilah ”komunitas” bisa dilihat dari sisi batasan geografis maupun kesamaan kepentingan publiknya. Untuk sisi geografis, cakupan terkecilnya bisa satu wilayah desa / kelurahan. Sedangkan untuk sisi kepentingan, biasanya mengacu pada kesamaan profesi dan perhatian pendengarnya.
Radio Pesona Merapi yang menjadi jembatan komunikasi antarwarga lereng Gunung Merapi. Fungsinya antara lain memberi informasi tentang kondisi Gunung Merapi dan tindakan apa yang harus dilakukan warga. Lain lagi Radio Fompas. Radio yang berbasis di Pantai Selatan ini memberi layanan informasi pada nelayan tentang perkembangan cuaca, harga ikan, dan kredit usaha. Radio Saraswati khusus melayani warga Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) (Yogyakarta). Lewat frekuensi 91.5 FM, pengelolanya memberikan ruang lebih besar terhadap masalah kesenian. Mulai dari pameran seni rupa hingga pementasan teater.
Kemunculan radio-radio tersebut seperti menjawab rambahan gelombang kapitalisme di semua ruang publik, termasuk di angkasa. Prinsip utamanya, memberdayakan masyarakat lapisan bawah dalam mengelola informasi. Mereka sadar bahwa ruang publik belum sepenuhnya milik rakyat kebanyakan. Selain semangat dan ketulusan pengelolanya, yang patut diacungi jempol adalah kreativitas mereka. Perangkat siaran berupa antena pemancar rata-rata dirakit sendiri. Cukup dengan modal 1 juta, mereka mampu membeli antena vertikal, selanjutnya dirangkai kumparan tembaga, lalu dipasang menjulang pada sebuah pipa air minum setinggi 15-20 meter, sehingga hanya dengan menggunakan peralatan seminimal tersebut, sudah bisa dijadikan sebagai alat untuk bersiaran.

PROBLEMATIKA RADIO KOMUNITAS
• Dana yang Terbatas
Dana radio komunitas merupakan dana dari swadaya masyarakat. Radio komunitas tidak diperbolehkan menyiarkan iklan komersil atau mengiklankan suatu produk, kecuali iklan layanan masyarakat. Karena, tidak diperbolehkannya iklan masuk tersebut maka dana radio komunitas terbatas.

SDM Kurang
arena pada awalnya, radio komunitas merupakan sarana untuk menyalurkan hobi saja, maka sumber daya manusianya pun terbatas. Biasanya mereka yang melakukan siaran adalah masyarakat yang mempunyai waktu luang saja.
Masalah Teknis
Terbatasnya dana berhubungan juga dengan masalah teknis. Perbaikan untuk peralatan yang rusak dan perawatanya memerlukan dana, sedangkan dana yang dimiliki radio komunitas merupakan dana secara swadaya. Apabila ada salah satu alat siaran rusak untuk perbaikannya pasti harus menunggu iuran dari masyarakat untuk memberikan dana secara sukarela.
Kurangnya Informasi yang Diperlukan untuk Materi Siaran.
Radio komunitas merupakan radio yang batas wilayah siarannya terbatas pada wilayah dimana komunitas itu berada. Informasi yang ditemukan tentu saja hanya informasi yang ada dalam wilayah itu juga. Pada suatu waktu ketika tidak ada fenomena atau isu yang beredar di wilayah tersebut maka tidak ada materi berita yang bisa diinformasikan kepada masyarakat, karena radio komunitas tidak bisa mengambil informasi diluar wilayah komunitasnya.
Terbatasnya Frekuensi
Praktisi hukum, Budi Santoso, S.H. menilai, selama ini pemerintah menuding radio komunitas memboroskan frekuensi, dan dikhawatirkan menimbulkan disintegrasi. Ini berangkat dari paradigma bahwa informasi hanya dikelola oleh negara dan kapitalis. Rakyat tidak punya hak untuk itu. (Nasrullah Nara / Kompas / HSB). Terlebih lagi, radio komunitas hanya di beri sedikit ruang frekuensi yaitu sekitar 107 – 108 FM, sehingga dalam ruang yang sesempit itu frekuensi siaran pun saling bertabrakan.
Perijinan
Masalah perijinan yang selama ini dialami oleh radio komunitas, tidak selalu berjalan dengan mulus, Contohnya saja radio komunitas Panagati yang terletak di Terban Yogyakarta, sejak tahun 2001 sampai sekarang ini belum mendapatkan ijin secara resmi dari pihak terkait.

RADIO KOMUNITAS MENJADI PILIHAN YANG EFEKTIF BAGI KOMUNITAS SEBAGAI MEDIA
Bagi banyak orang radio satu-satunya sumber berita, dibanding koran dan televisi. Radio lebih banyak keunggulannya, misalnya rapotensi menjadi medium yang cepat akrab, menjangkau, siaran langsung dari lokasi kejadian mudah, biaya produksi siaran yang murah, dan dapat menembus berbagai tingkatan social masyarakat dimana buta hurufpun bukan kendala bagi khalayak radio. Disamping tentunya ada beberapa kelemahan misalnya radio sangat tergantung pada frekuensi bunyi tidak lengkap seperti televisi ada bunyi dan visual, sangat dipengaruhi kondisi atmosfer dimana pada saat yang jauh akan lebih banyak terganggu, tidak bisa mengirim berita sekaligus banyak dan cepat seperti halnya media cetak karena keterbatasan waktu siaran.
Sehingga, dengan berbagai kendala diatas, pilihan menggunakan radio sebagai media komunitas pilihan yang masih efesien dan efektif. Karena radio komunitas adalah jurnalisme praktis, tidak perlu banyak teori dan referensinya, juga tak banyak karena sering dianggap lebih mudah, walau tidak sepenuhnya demikian jika dikaji lebih lanjut karena ada sisi advokasi yang menjadi muatan utama. Karena fungsinya yang menjadi kontrol sosial dimasa lalu perkembanganya tak terlalu mulus, dikarenakan belum ada aturan yang jelas, radio komunitas sering dianggap radio gelap. Penyesuaian dengan segmentasi komunitasi pilihan acara yang aktual, yang menjadi target siaran dan bumbu kearifan lokal yang menyentuh menjadi resep yang harus menjadi ciri radio komunitas, sehingga bisa mengalihkan pendengar radio yang telah dijejali dengan aneka program televise di era multichanel TV saat ini.
Radio sebagai alat komunikasi tampaknya masih bisa dioptimalkan karena penggunaan pesawat radio di berbagai kalangan masih tinggi. Untuk mendapatkan sebuah pesawat radio, khususnya radio transistor, tidak perlu mengeluarkan uang banyak, bisa didapat dengan harga mulai Rp. 5000 atau diatasnya tergantung merek yang menjadi pilihan dan sekarang banyak handphone yang dilengkapi dengan pesawat radio. Artinya radio sebagai sebuah alat komunikasi adalah pesawat yang merakyat. Dalam proses pendirian maupun siarannya, tarik ulur kepentingan kemungkinan besar tetap tak terhindarkan, namun bisa disiasati dengan kemasan acara yang memperhatikan kebiasaan, prilaku, kultur komunitasnya dan tak meninggalkan kaidah jurnalisme kemanusiaan yang damai. Begitu kompleks dan beragamnya problema komunitas dari hasil penelitian tersebut seakan menjadi gambaran: begitu peliknya persoalan di masyarakat, ada pergulatan politik, sosial, ekonomi dan budaya yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat dan komunitas-komunitasnya, yang seolah gagap akan perubahan dan dinamika berkehidupan.
Disinilah pentingnya radio komunitas, menangkap apa yang dibutuhkan komunitas dan masyarakat dan kemudian menyuarakannya menjadi bahasa dan bahasan utama untuk menemukan solusi. Dengan segala kelebihannya, radio komunitas bisa menjadi jembatan bagi penguatan masyakat sipil yang demokratis, apalagi dibantu juga oleh para ulama pesantren, yang secara tradisonal menjadi panutan, yang peduli pada persoalan sosial dan masyarakatnya atau yang kita sebut kader ulama humanis yang akan berkerjasama membangun sinergitas dengan penggerak masyarakat atau CO (Community Organizer) dalam menata kompleksnya problema komunitas dan masyarakat, sehingga penangananya dengan perspektif yang kompleks dan beragam juga. Paling tidak ini jurus lain dari advokasi radio dan masyarakat, dengan radio komunitas sebagai senjata utamanya.

REFERENSI
http://www.siar.or.id/default.asp?content=feature&id=885
ttp://www.arrnet.or.id/download.asp?id=249.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Radio_komunitas”
http://www.fahmina.org/fi_id/index.php?option=com_content&task=view&id=20&Itemid=27

Sejarah dan Perkembangan Radio Komunitas


http://dirgantara.idxc.org/dirga12/1203d.shtml
Muhtadi, Asep S. 1999. Jurnalistik: Pendekatan Teori dan Praktik. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Stiftung, Friedrich N. 2000. Politik dan Radio. Jakarta: PT. Sembrani Aksara Nusantara.
Prayuda, harly. 2006. Penyiar is not just a talk. Malang:
Bayu media publishing.
Efendi, onong. 1990. Radio siaran teori dan praktek. Bandung:
Bandar maju.
Sudibyo agus, 2004. Ekonomi politik media penyiaran. Yogyakarta:
LKIS

*disampaikan dalam makalah kelompok mata kuliah broadcasting prodi ilmu komunikasi 2007

oleh: Muhammad Nurul Ihwan, Ricky Riadi Iskandar, Arif friansyah, Danandika pramasto, Fadriano rakamuna, Tesa Herowana

Laman Berikutnya »